Rabu, 29 September 2010

10. Pakeliran padat dengan judul “Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah)”.

Karya seni atau karya sastra merupakan artefak yang sesungguhnya mati. Ia hidup ketika diberi makna. Hasil kebudayaan baik itu karya seni atau karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. karya-karya ini merupakan pengkristalan dari perenungan panjang. Kondisi pakeliran dewasa ini kemungkinan besar telah dipengaruhi oleh pertumbuhan dan perkembangan seni pertunjukan wayang di masa lampau. Khususnya di Jawa, kondisi pakeliran itu bila direntang dapat dijabarkan secara memanjang seperti yang di bawah ini. 1. Terjadinya kebekuan kreativitas dalam jagat pewayangan pada dekade 50-an, disebabkan oleh kesalahtafsiran sejumlah seniman pedalangan terhadap kedudukan pakem. Pakem, yang sebenarnya hanya sekedar panduan awal bagi dalang pemula, sering disikapi sebagai sesuatu yang mutlak untuk dilakukan oleh semua dalang. Ketakutan untuk mengadakan perubahan demikian itu disebabkan oleh sisa-sisa pengaruh atau wibawa keraton yang sangat kuat di masa lampau terhadap perikehidupan pakeliran. Keraton, sebagai penyangga utama pakem, menghendaki agar nilai-nilai adiluhung yang terkandung di dalam pertunjukan wayang tidak terkikis oleh perubahan zaman, minimal telah memiliki satu panduan yang dapat dijadkan acuan bagi para dalang pemula.Pakem ini oleh sementara kalangan kemudian dianggap suatu undang-undang atau peraturan yang seakan-akan tidak boleh dirubah sedikit pun. 2. Akibat situasi politik serta ekonomi yang tidak mendukung, pada masa akhir zaman Orde Lama dan awal Orde Baru, dunia pedalangan nyaris berhenti, kecuali di beberapa daerah pedesaan yang masih memerlukan pakeliran sebagai salah satu kegiatan komunitasnya; misalnya ruwatan, bersih desa dan/atau ruwahan.
Pakeliran Padat merupakan strategi baru dunia pedalangan dalam menarik minat penonton. Durasi waktu pertunjukan wayang yang semula semalam suntuk dikemas menjadi satu sampai dua jam saja, tanpa mengurangi isi, nilai, dan makna ceritera yang dibawakan.

JATHILAN


Jathilan merupakan kesenian yang menyatukan antara untur gerakan tari dengan magis. Kesenian yang juga sering disebut dengan nama jaran kepang atau jaran dor ini dapat dijumpai di desa-desa di Jawa. Kesenian ini merupakan tradisi lima gunung. Pagelaran ini dimulai dengan tari-tarian. Kemudian para penari bak kerasukan roh halus sehingga hampir tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan. Di saat para penari bergerak mengikuti irama musik dari jenis alat musik jenis alat gamelan seperti saron, kendang, dan gong ini, terdapat pemain lain yang mengawasi dengan memegang pecut atau cemeti.
Pemain yang bertugas mengawasi itu adalah yang terpenting dalam jathilan ini. Dia adalah dukunnya dan dia "mengendalikan" roh halus yang merasuki para penari. Para penari pada umumnya menggunakan kuda kepang, yaitu anyaman bambu yang dibentuk, didesign menyerupai badan kuda. Para penari ini juga melakukan atraksi-atraksi berbahaya yang tak dapat dinalar oleh akal sehat. Diantaranya adalah mereka dapat dengan mudah memakan benda-benda tajam sperti silet, pecahan kaca, atau bahkan lampu tanpa terluka atau merasakan sakit. Dan ketika mereka di lecuti dengan cambuk atau cemeti pun, tubuh mereka tidak memar atau tergores.

Traditional Dolanan Bocah

Permainan anak tradisional yang dimiliki oleh anak – anak Nusantara memang banyak sekali ragamnya. permainan yang berkaitan dengan ketangkasan , kesabaran , emosional, ketrampilan, kecermatan dan kecerdasan otak. Permainan anak memiliki kekhasan tersendiri di setiap daerah. Inilah sebagian permainan tradisional yang populer pada masa itu yang ada di nusantara. Di bawah ini hanya sebagian kecil dari permainan anak yang di miliki negeri ini dan permainan anak ini hampir di setiap daerah mempunyai nama yang berbeda.Karena permainan tradisional umumnya dilakukan berkelompok, maka permainan ini otomatis mengajarkan kebersamaan, seperti dalam gobak sodor, engklek ataupun lompata tali. Ada juga permainan tradisional yang bisa dimainkan secara indi vidu selain bersama teman-teman, seperti yoyo, layang-layang, dan ketapel. Selain itu, permainan tradisional juga mengajarkan sportivitas dan aturan main yang disepakati bersama. Dengan gerakan-gerakan seperti berlari, berkelit, melompat, atau menaikturunkan tangan, fisik anak pun dilatih secara aktif. Jadi, dengan bermain permainan tradisional anak bisa mengasah kemampuan motorik, baik kasar maupun halus, serta gerak refleksnya. Uniknya lagi, permainan tradisional Indonesia mempunyai waktu main tertentu, ada yang hanya bisa dilakukan di sore hari, siang hari, atau malam hari. Contoh, permainan Gatok dari Aceh yang menggunakan biji pinang dan tangan sebagai pelenting buah pinang, akan seru jika dilakukan di sore hari. Sementara permainan Nsya Asya/Tok Asya dari Papua, atau balapan menggelindingkan rotan yang dibentuk seperti ban, biasanya dilakukan pagi hari. Satu lagi, permainan oray-orayan dari Jawa Barat paling seru jika dimainkan kala terang bulan Permainan anak tardisional diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi.
Hal ini menunjukkan bahwa permainan tersebut mengandung makna edukatif yang mengajarkan kebiasaan-kebiasaan yang terkonversi dan terkodifikasi dari nilai-nilai moral etika yang dianut oleh masyarakatnya.

Dapat juga dikatakan befungsi untuk mempertaankan nilai-nilai dengan cara memasukkan makna dalam berbagai sifat, bentuk, dan jenis permainan.Terobosan-terobosan yang dapat dilakukan secara nyata dapat dilakukan melalui pertama memasukkan dalam kurikulum sekolah dasar sebagai pembentuk jiwa anak. Anak cenderung lebih mudah memahami sesuatu yang diajarkan melalui media permainan, daripada hanya mendengarkan guru ceramah dan siswa disuruh mencatat.Kedua, para pakar dan ahli budaya menciptakan bentuk kreasi baru dari permainan tradisional sehingga tidak dikatakan sebagai ketinggalan zaman, pakar seni yang mampu menciptakan kreasi baru baik dalam bentuk dolanan maupun tembang dolanan anak dalam kemasan baru dan bernuansa kekinian, tetapi tetap memperhatikan keaslian dari permainan anak tradisional tersebut.Ketiga, peran serta masyarakat dalam upaya sosialisasi kampanye kembali pada budaya sendiri, karena kajian-kajian mapun penelitian-penelitian tentang permainan anak tradisional tidk akan bermanfaat tanpa dipraktekkan dan didukung oleh masyarakat.

MUSIK ETNIK


Tradisi adalah gugusan nilai-nilai budaya yang mapan dalam kurun waktu bergenerasi. Kontemporer adalah nilai-nilai budaya baru yang sedang mencari sosok kemapanan. Namun pada waktu menjabarkan pemahaman itu kita segera dihadapkan pada kenyataan bahwa “tradisi” dan “kontemporer” ternyata bukanlah dua konsep yang berhadapan secara dikotomis, melainkan berkesinambungan dan mengandung berbagai kemungkinan perpaduan unsur antar keduanya.
Negara kita memiliki jenis alat music etnik yang tak terhitung jumlahnya. Di Jawa kita mengenal seperangkat alat music gamelan yang terdiri dari nada slendro dan pelog. Alat music etnik bersifat fleksibel untuk mengiringi hampir semua bentuk pertunjukan.

PERFORMANCE SASTRA

Performance sastra dalam kegiatan TPAC ini akan melibatkan penyajian karya-karya sastra Jawa, seperti macapat dan geguritan. Melibatkann pula penyajian sastra Indonesia, seperti puisi. Juga melibatkan penyajian karya sastra Barat, sastra China, dan sastra Arab. Karya sastra sudah diciptakan orang jauh sebelum orang memikirkan apa hakekat sastra dan apa nilai dan makna sastra. Karya sastra berbeda dengan karangan-karangan yang lain. Ia berbeda dengan buku-buku sejarah, walaupun kadang-kadang di dalam karya sastra terkandung pula kebenaran-kebenaran yang bersifat sejarah. Ia tidak sama dengan buku matematika, walaupun kadang-kadang di dalamnya terdapat pemikiran-pemikiran yang logis. Ia juga tidak sama dengan buku-buku ilmu bumi, walaupun tidak jarang karya sastra yang mengambil lokasi daerah atau kota-kota yang dapat dijumpai di dalam peta. Karya sastra tidak dapat pula disamakan dengan buku-buku pelajaran agama, meskipun banyak karya sastra yang menampilkan nilai-nilai pendidikan moral yang berkualitas keagamaan. Karya sastra adalah filsafat. Karya sastra memiliki dunia sendiri. Ia merupakan pangejawantahan kehidupan hasil pengamatan sastrawan atas kehidupan sekitar dan dirinya sendiri. Seorang kreator memiliki kepekaan menangkap gejala sekitar. Sang kawi, mpu, pujangga, penyair/sastrawan yang dalam perkembangannya dijuluki pula novelis,cerpenis memiliki tugas menangkap suara (jeritan, ratapan, kebahagiaan) alam dan alam sekitarnya. Sastrawan ibarat lautan yang bersifat kamot lan momot secara harfiah berarti mampu ‘menampung’. Selain  dengan banyak belajar (empiris; membaca, melihat, mengamati), seorang sastrawan seyogyanya selalu mengolah kepekaan intuisi (rasa) dengan tujuan agar lebih tanggap dan peka.

Kethoprak Mahasiswa dengan judul “Mardhika Jawa Dwipa”

Ketoprak (bahasa Jawa: kethoprak) adalah sejenis seni pentas yang berasal dari Jawa. Dalam sebuah pentasan ketoprak, sandiwara yang diselingi dengan lagu-lagu Jawa, yang diiringi dengan gamelan disajikan. Tema cerita dalam sebuah pertunjukan ketoprak bermacam-macam. Biasanya diambil dari cerita legenda atau sejarah Jawa. Banyak pula diambil cerita dari luar negeri. Tetapi tema cerita tidak pernah diambil dari repertoar cerita epos (wiracarita): Ramayana dan Mahabharata.
Menurut sejarah kethoprak lahir pada tahun 1887. Pada awalnya Ketoprak hanya berwujud permainan bagi para lelaki didesa sebagai hiburan sambil menabuh “lesung” (alat yang sebenarnya berfungsi sebagai alat/tempat untuk menumbuk gabah/padi supaya menjadi beras) pada saat bulan purnama. Hal ini sering juga disebut sebagai “gejog lesung”. Namun semakin lama ketoprak semakin digemari oleh banyak orang. Dan karena kebiasaan akhirnya ketoprak mampu dijadikan sebagai salah satu budaya masyarakat, dan bisa bersinergi dengan kesenian yang lainnyaDisebabkan pada awalnya hanya diiringi oleh alat ‘tetabuhan lesung’ ketoprak dulunya juga sering disebut “gejog lesung”.  Seiring dengan keadaan berjalan selanjutnya ada tambahan alat musik lainnya seperti kendang, terbang dan suling.  Pada tahun 1909 pertunjukan kethoprak sudah mulai berkembang seperti yang bisa kita saksikan sampai sekarang. Kethoprak mahasiswa diharap mampu mendedah, membedah, mengkaji, merekontruksi, menyajikan, dan ‘mendefinisikan ulang’ nilai-nilai yang terdapat dalam legenda-legenda lokal dalam cerita-ceritera kethoprak tobong.

TARI KLASIK

Tari Klasik Definisi tari menurut Sudarsono adalah ekspresi jiwa manusia melalui gerak-gerak yang indah dan ritmis. Menurut Susan K. Lenger Tari adalah gerak-gerak yang dibentuk secara ekspresif yang diciptakan manusia untuk dapat dinikmati. Curt Sacha berpendapat bahwa Tari adalah gerak yang ritmis. Kamala Devi Chattopadhyaya mengatakan bahwa tari adalah suatu instinct atau desakan emosi didalam diri kita yang mendorong kita untuk mencari ekspresi pada tari. Tari klasik adalah tari yang mengalami kristalisasi keindahan yang tinggi dan sudah ada sejak jaman feudal. Tari ini biasanya hidup dilikgkungan keraton.

Ciri-ciri tari klasik adalah :
1. Mengalami kristalisasi keindahan yang tinggi
2. Hidup dikalangan raja-raja
3. Adanya standarisasi

Contoh tari klasik adalah bedaya, srimpi, lawung ageng, lawung alit dan juga karya-karya empu tari baik empu tari gaya Yogyakarta dan empu tari gaya Surakarta seperti S. Mariadi dan S. Ngaliman  yang sampai sekarang masih bisa dinikmati seperti : Gathotkaca Gandrung, Bondabaya, Bandayuda, Palguna-palgunadi, Retna Tinanding, Srikandi Bisma, dll.

MUSIK PERKUSI


Musik Perkusi Instrumen perkusi pada dasarnya merupakan benda apapun yang dapat menghasilkan suara baik karena dipukul, dikocok, digosok, diadukan, atau dengan cara apapun yang dapat membuat getaran pada benda tersebut. Istilah instrumen perkusi biasanya digunakan pada benda yang digunakan sebagai pengiring dalam suatu permainan musik Instrumen musik perkusi tidak hanya dimainkan sebagai pengiring/ritmis, melainkan pula sebagai melodi dan memainkan harmoni. Perkusi umum dianggap sebagai "tulang punggung", atau "jantung" dari sebuah pertunjukan musik, dalam permainan seringkali dikolaborasikan bersama instrumen bass. Pada musik jazz dan musik populer, bassis dan drummer seringkali dikelompokkan sebagai seksi ritmis.

Teatrikal “Pembangunan Candi Borobudur”


Candi Borobudur merupakan Candi Budha yang terletak  di desa Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Candi ini dibangun oleh raja Samarattungga, salah satu raja kerajaan Mataran Kuna, keturunan Wangsa Syailendra yang mengagungkan Dewa Indra. Dalam Prasasti Karang Tengah disebutkan pendirian candi ini dengan tahun sangkala, rasa sagara kstidhara, tahun Caka 746/824 M. Arsitektur yang menciptakan candi ini menurut masyarakat bernama Gunadharma yang dibantu oleh guru dari Ghandadwipa bernama Kumaragacya dan Pangeran Kashmir, Visvawarman sebagai penasehat ahli ajaran Budhis Tantra Vajrayana. Nama Borobudur berasal dari kata Bara dari Bahasa Sansekerta yang berarti biara dan Budur dari kata Beduhur yang berarti di atas. Jadi Borobudur berarti biara diatas bukit. Dalam Prasasti Karang Tangah juga disebutkan nama Bhumisambhara Budhara yang berarti tempat pemujaan para nenek moyang kepada arwah-arwah leluhurnya. Candi Borobudur memiliki ciri khas tersendiri karena berbentuk punden berundaj yang terdiri dari 10 tingkat, tingkat 1 – 6  berbentuk bujur sangkar, tingkat 7 – 10 berbentuk lingkaran, dengan 1460 relief dan 504 stupa Budha dalam kompleksnya. Bentuk punden berundak ini melambangkan 10 tingkatan Budhasattva yang harus dilalui untuk memperoleh kesempurnaan hidup, yaitu: -       Kamandhatu  :   Bagian dasar candi, melambangkan manusia yang masih terikat nafsu. -       Ripadhatu      :   4 tingkat diatasnya, melambangkan manusia sudah dapat melepaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat rupa dan bentuk. Patung Budha diletakkabn terbuka. -       Arupadhatu   :   3 tingkat diatasnya, melambangkan manusia sudah terbeas dari nafsu, bentuk dan rupa. Patung Budha diletakkan dalam stupa berlubang-lubang. -       Arupa             :   Bagian tertinggi, melambangkan nirwana, tempat Budha bersemayam dalam stupa terbesar yang didalamnya terdapat patung yang disangkakan Budha. Bagai sebuah kitab, Borobudur  yang sampai saay ini masih belum diketahui bagaimana cara pembuatannya, susunan batu, bagaimana cara mengangkat batus ampai diatas, apakah ukuran batu sudah sesuai dengan yang dikehendaki dan sebagainya telah diberikan rahasia dan kemisteriusan tersendiri bagi bangsa kita dan bahkan dunia. Jika dilihat dari atas, bentuk Candi Borobudur akan membentuk struktur mandala. Dan jika kenampakan kompleks candi diperluas lagi ke wilayah sekitarnya, maka akan terlihat sosok manusia dan Candi Borobudur tepat berada di jantungnya. Hal ini melambangkan disinilah jantung kehidupan, pusat pengajaran dan kehidupan masyarakat.

Tari Kuda Lumping

Tari Kuda Lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan. Kuda lumping juga disebut jaran kepang atau jathilan adalah tarian tradisional Jawa menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda. Tarian ini menggunakan kuda yang terbuat dari bambu yang di anyam dan dipotong menyerupai bentuk kuda. Anyaman kuda ini dihias dengan cat dan kain beraneka warna. Tarian Kuda Lumping biasanya hanya menampilkan adegan prajurit berkuda, akan tetapi beberapa penampilan Kuda Lumping juga menyuguhkan atraksi kesurupan, kekebalan, dan kekuatan magis, seperti atraksi memakan beling/ pecahan kaca dan kekebalan tubuh terhadap deraan cambuk. Kuda Lumping atau Jaran Kepang merupakan bagian dari pagelaran tari reog.

Acara Yang Diselenggarakan

dapun bentuk kegiatan yang akan diselenggarakan adalah:

1. Tari Kuda Lumping
 

2. Teatrikal Pembangunan Candi Borobudur

3. Tari Klasik

4. Musik Etnik

5. Kethoprak Mahasiswa dengan judul “Mardhika Jawa Dwipa”

6. Performance Sastra

7. Tradisional dolanan bocah

8. Jathilan

9. Pakeliran padat
dengan judul “Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah)”

Senin, 27 September 2010

A. DASAR PEMIKIRAN

“…Jangan kau tinggalkan kepribadian asli budaya dan tradisimu (yang baik & relevan), jangan sampai kita lalai dengan ombak zaman – inilah budaya kita…”
Ki Nartosabdo
(Terjemahan syair “Aja Dipleroki”)

“…Kini kita tidak melihat lagi sesuatu yang akan bertumbuh lebih besar; sebaliknya, kita curiga bahwa segalanya akan terus merosot turun…”
F. Nietzsche
(The Genealogy of Morals, A Double Day Anchor Books, 1956 : 177)

Citra budaya timur -khususnya budaya Jawa- telah dikenal di seluruh penjuru dunia sebagai budaya tinggi, adi luhung, dan halus, kini hanya tinggal wacana nostalgia. Sederet krisis multi dimensi yang berkepanjangan berujung pada teror kepercayaan terhadap kekuatan budaya sendiri. Hal ini dikarenakan tidak adanya “pengawalan budaya” yang bersifat akulturasi selektif terhadap budaya asing yang masuk. Tanpa ada kepedulian dan dukungan dari masyarakat, budaya menjadi lemah. Terkuburnya sebuah kebudayaan sama artinya dengan runtuhnya peradaban dan nilai.
Traditional Performing Art on Campus (TPAC) merupakan sebuah usaha penggalian daya cipta intelektual masa lalu yang masih relevan dengan perkembangan jaman. Event TPAC adalah wadah sebagai ruang gerak seni budaya dan kearifan lokal unggulan untuk memperkokoh jati diri Bangsa berdasarkan Pancasila yang saat ini dirasakan tenggelam dalam wacana kehidupan berbangsa.
Traditional Performing Art on Campus (TPAC) diharapkan mampu menjadi awal kedua yang baik untuk mengenalkan budaya asli Bangsa yang telah tenggelam oleh arus globalisasi kepada masyarakat luas pada umumnya dan masyarakat akademis pada khususnya. Diharapkan pula TPAC mampu mengembalikan pemahaman mental Bangsa kepada akar budaya Bangsa tanpa menafikan tema, pemikiran, selera, identitas, karya, dan cita rasa modern.
Disadari betul tidak semua masalah mampu dihadirkan dan diselesaikan pada tahap ini. Oleh karena itu TPAC bersifat berkelanjutan dengan tetap menjunjung tinggi harapan, semangat, nilai, dan cita-cita. Berdasar pemikiran “kebesaran suatu bangsa ditentukan oleh nilai-nilai budayanya”, TPAC akan mengangkat kembali lokal jenius dan local wisdom.


B. TUJUAN

Kegiatan TPAC ini bertujuan untuk :
1. Memberikan wadah dan ruang bagi penggalian kembali dan pengembangan budaya Jawa.
2. Sebagai ajang pertunjukan dan pementasan Budaya Jawa
3. Menggiatkan kecintaan kepada budaya Jawa dengan mengenalkan kepada generasi muda secara umum dan secara khusus kepada kalangan akademisi.